Senin, 06 Agustus 2012

BID’AH-BID’AH DI BULAN RAMADHAN


Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia, hanya saja sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, ia telah tercampuri oleh beberapa ritual bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Berikut ini kami sampaikan beberapa bid’ah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia. Semoga Allah menyelamatkan darinya. Di antaranya adalah hal-hal sebagai berikut[1]:

1. Melafadzkan Niat Puasa Di Malam Hari

Tidak diragukan lagi bahwa niat merupatkan syarat sahnya ibadah dengan kesepakatan ulama.[2] Hanya saja perlu diketahui bahwa niat tempatnya adalah di dalam hati, barangsiapa yang terlintas di dalam hatinya bahwa dia besk akan puasa maka sudah berarti dia telah berniat. Adapun melafadzkan niat puasa di malam hari baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri dengan mengucapkan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ ِللهِ تَعَالَى
Aku berniat puasa besok untuk melaksanakan fardhu puasa Romadhan pada tahun ini karena Alloh Ta’ala.

Do’a ini sangat masyhur bahkan diucapkan secara berjama’ah di masjid setelah sholat tarawih padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, bahkan ini adalah kebid’ahan dalam agama sekalipun manusia menganggapnya kebaikan[3].

Jadi, melafadzkan niat seperti itu tidak ada contohnya dari Nabi, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan sebagainya, bahkan kata Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi: “Tak seorangpun dari imam empat, baik Syafi’i maupun lainnya yang mensyaratkan melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka”.[4] 

Maka jelaslah bahwa melafadzkan niat termasuk bid’ah dalam agama.[5]

Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Maliki berkata: “Niat termasuk pekerjaan hati, maka mengeraskannya adalah bid’ah”.[6]

2. Menetapkan Waktu Imsak

Menetapkan waktu imsak bagi orang yang makan sahur 5 atau 7 menit sebelum adzan Subuh dan mengumumkannnya melalui pengeras suara ataupun radio adalah bid’ah dan menyelisihi sunnah mengakhirkan sahur.

Syari’at memberikan batasan seseorang untuk makan sahur sampai adzan kedua atau adzan Subuh dan syari’at menganjurkan untuk mengakhurkan sahur, sedangkan imsak melarang manusia dari apa yang dibolehkan oleh syari’at dan memalingkan manusia dari menghidupkan sunnah mengakhirkan sahur.

“Maka lihatlah wahai saudaraku keadaan kaum muslimin pada zaman sekarang, mereka membalik sunnah dan menyelisihi petunjuk Nabi, dimana mereka dianjurkan untuk bersegera berbuka tetapi malah mengakhirkannya dan dianjurkan untuk mengakhirkan sahur tetapi malah menyegerakannya. Oleh karenanya,  mereka tertimpa petaka dan kefakiran dan kerendahan di hadapan musuh-musuh mereka”.[7]

Kami memahami bahwa maksud para pencetus Imsak adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar jangan sampai masuk waktu Subuh, sedangkan masih masih makan atau minum, tetapi ini adalah ibadah sehingga harus berdasarkan dalil yang shohih. Jika kita hidup di zaman Nabi, apakah kita berani membuat-buat waktu imsak, melarang Rosululloh makan sahur jauh-jauh sebelum waktu Subuh tiba?!![8]

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Termasuk bid’ah yang mungkar yang telah tersebar pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum shubuh sekitar 15 menit pada bulan Romadhan, dan mematikan lampu-lampu sebagai tanda peringatan haramnya makan dan minum bagi orang yang hendak puasa. Mereka mengklaim bahwa hal itu sebagai bentuk kehati-hatian dalam ibadah. Mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur, mereka menyelisihi sunnah. Oleh karenanya sedikit sekali kebaikan yang mereka terima, bahkan mereka malah tertimpa petaka yang banyak, Allohul Musta’an.[9]

3. Membangunkan Dengan Kentongan atau Pengeras Suara

            Biasanya di sebagian kampung dan desa ada segerombolan anak muda atau juga orang tua menabuh kentongan sekitar 2-3 jam sebelum shubuh untuk membangunkan mereka agar segera sahur, seraya mengatakan: “Sahur!!  Sahur!! Sahur!! Bahkan ada sebagian yang menggunakan mikrofun masjid untuk melakukan panggilan ini.

Tidak ragu lagi bahwa ini adalah suatu kebiasaan yang dianggap ibadah, padahal tidak ada ajarannya dalam agama. Seandainya itu baik tentu akan diajarkan oleh agama. Apalagi, kebiasaan dapat mengganggu kenyamanan tidur orang di malam hari, padahal Allah berfirman:

إِذْ جَاءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّـهِ الظُّنُونَا
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)[10]

Syaikh Abdul Qodir al-Jazairi berkata: “Apa yang dilakukan oleh sebagian orang jahil pada zaman sekarang di negeri kita berupa membangunkan otang puasa dengan kentongan merupakan kebid’ahan dan kemunkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh orang-orang yang berilmu”.[11]

4. Memperingati nuzulul qur’an

Biasanya pada pada tanggal 17 Romadhon, kebanyakan kaum muslimin mengadakan peringatan yang disebut dengan perayaan Nuzulul Qur’an sebagai bentuk pengagungan kepada kitab suci Al-Qur’an. Namun ritual ini perlu disorot dari dua segi:

Pertama: Dari segi sejarah, adakah bukti otentik baik berupa dalil ataupun sejarah bahwa Al-Qur’an diturunkan pada tanggal tersebut?! Inilah pertanyaan yang kami sodorkan kepada saudara-sauadaraku semua.

Kedua: Angggaplah memang terbukti bahwa Al-Qur’an  diturunkan pada tanggal tersebut, namun menjadikannya sebagai perayaan membutuhkan dalil dan contoh dari Nabi. Bukankah, orang yang paling gembira dengan turunnya al-Qur’an adalah Rosululloh  dan para sahabatnya?!  Namun sekalipun demikian, tidak pernah dinukil dari mereka tentang adanya peringatan semacam ini, maka hal itu menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan termasuk ajaran Islam tetapi kebid’ahan dalam agama.

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam; idhul fithri[12] dan idhul adha, berdasarkan hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا, فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ :كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Dari Anas bin Malik berkata: Tatkala Nabi datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenag gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah, lalu beliau bersabda: “Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, idhul adha dan idhul fithri”. [13]

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak ingin kalau umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyari’atkan Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh Ahli kitab sebelum kita, tetapi berdasakan syari’at dan dalil”.[14]

Beliau juga berkata: “Tidak disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang diizinkan Syari’at yaitu idhul fithri, idhul adha, hari-hari tasyriq, ini perayaan tahunan, dan hari jum’at, ini perayaan mingguan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan tidak ada asalnya dalam syari’at”.[15]

5. Komando Di antara Roka’at Sholat Tarawih

Berdzikir dan mendo’akan para Khulafaur Rosyidin di antara dua salam sholat Tarawih dengan cara berjama’ah di pimpin oleh satu orang dengan mengucapkan:

اَلصَّلاَةُ سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَحِمَكُمُ اللهُ  . . .

Tidak pernah dinukil dari al-Qur’an dan dalam Sunnah tentang dzikir ini. Kalau tidak pernah kenapa kita tidak mencukupkan diri dengan apa yang dibawa Nabi dan para sahabatnya? Oleh karenanya maka hendaknya bagi setiap muslim untuk menjauhi hal ini, karena hal ini termasuk kebid’ahan dalam agama yang hanya dianggap baik oleh logika.

Jangan ada yang mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja karena berisi sholawat dan doa kepada sahabat yang merupakan amalan baik dengan kesepakatan ulama, itu memang benar tetapi masalahnya manusia menganggapnya sebagai syi’ar sholat tarawih padahal itu merupakan tipu daya Iblis kepada mereka.

Bagaimana mereka menganggap baik sesuatu yang tidak ada ajarannya dalam agama, padahal hal itu diingkari secara keras oleh Imam Syafi’I tatkala berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syari’at.[16]
Asy-Syaukani berkata: “Maksud istihsan adalah ia menetapkan suatu syariat yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri”.[17]

Jadi, ritual ini termasuk kebid’ahan yang harus diwaspadai dan ditinggalkan.[18]

6. Tadarrus al-Qur’an berjama’ah dengan pengeras suara

Pada dasarnya kita dianjurkan untuk banyak membaca Al-Qur’an di bulan ini. Namun ritual Tadarus al-Qur’an berjama’ah yang biasa dilakukan oleh keum muslimin di masjid dengan mengeraskan suara adalah suatu hal yang perlu diluruskan.

Membaca al-Qur’an termasuk ibadah mulia yang diharapkan dengannya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya serta dilakukan sesuai tuntunan Nabi n\ yaitu dengan suara pelan dan merendahkan diri karena itu lebih menjauhkan seseorang dari riya’ dan mendekatkan seseorang kepada Robbnya. Alloh Ta’ala berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ 
Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’rof [7]: 55)

Rosululloh n\ pernah menegur sebagian sahabat yang berdo’a atau berdzikir dengan suara keras dengan perkataan beliau:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
Wahai manusia, kasihanilah dirimu! Sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Ia bersama kalian dan sesungguhnya Alloh Maha Mendengar dan Maha Dekat, Maha Suci NamaNya dan Maha Tinggi KemuliaanNya. (HR. al-Bukhori 2292, Muslim 2704)

Terlebih lagi apabila ibadah mulia ini dilakukan dengan cara campur-baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dan tidak halal untuk saling melihat. Apakah ini ibadah atau permainan?! Wallohul Muwaffiq.[19]

7. Mengkhususkan Ziarah Kubur

Pada bulan Ramadhan dan hari raya sering kita dapati manusia ramai ke kuburan dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah waktu yang sangat istimewa dalam ziarah kubur. Namun, adakah dalam Islam ketentuan waktu khusus untuk ziarah kubur?!

Jawabannya: Tidak ada waktu khusus untuk ziaroh kubur. Para ahli fiqih dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah telah menegaskan anjuran memperbanyak ziarah kubur kapanpun waktunya.[20] Para ulama Malikiyyah mengatakan: “Ziarah kubur tidak ada batasan dan waktu khusus”.[21]

Hal ini dikuatkan dengan keumuman dalil-dalil perintah ziarah kubur, tidak ada keterangan bahwa ziarah kubur terbatasi dengan waktu tertentu, karena diantara hikmah ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran, ingat akherat, melembutkan hati, sedangkan hal itu dianjurkan setiap waktu tanpa terbatasi oleh waktu khusus.[22]

Jadi, kita tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu khusus untuk ziarah, kapanpun ziarah adalah boleh.

Demikianlah beberapa bid’ah yang dapat kami sampaikan. Kita memohon kepada Allah agar menyelamatkan kita semua darinya dan memberikan hidayah kepada kaum muslimin yang masih melakukannya. Amiin.

8. Bid’ah Sholat Lailatul Qodr

Sebagian manusia ada yang mengerjakan shalat Lailatul Qodr dengan tata cara; shalat dua raka’at dengan berjama’ah setelah shalat taraweh. Kemudian di akhir malam, mereka shalat lagi seratus raka’at. Shalat ini mereka kerjakan pada malam yang menurut persangkaan kuat mereka adalah lailatul qodr. Oleh karena itu shalat ini dinamakan shalat lailatul qodr. Tidak ragu lagi bahwa ini adalah bid’ah yang nyata.[23]


[1] Pembahasan ini banyak mengambil manfaat dari buku “30 Tema Pilihan Kultum Ramadhan” hlm. 166-173 oleh al-Akh Abu Bakar Muhammad, cet Majelis Ilmu, dengan beberapa tambahan referensi penting lainnya.
[2] Syarh Hadits Innamal A’mal bin Niyyat, hlm. 119 oleh Ibnu Taimiyyah.
[3] Lihat Shifat Shoum Nabi hlm. 30 oleh Syaikh Salim al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan.
[4] Al-Ittiba’ hlm. 62, tahqiq Muhammad Atho’ullah Hanif dan Dr. Ashim al-Qoryuthi,
[5] Lihat secara luas Al-Amru bil Ittiba’ hlm. As-Suyuthi hlm. 295, Majmu’ah Rosail Kubro 1/254-257, Zadul Ma’ad 1/51, Al-Qoulul Mubin fii Akhtoil Mushollin hlm. 91-96 oleh Syaikh Masyhur Hasan, tulisan “Hukum Melafadzkan Niat” oleh al-Usradz Abu Ibrahim dalam Majalah Al Furqon edisi 9, hlm. 37-42, tahun ketujuh.
[6] Majmuah Rasail Kubra 1/254, Ibnu Taimiyyah. Lihat al-Qoul al-Mubin Fi Akhthoil Mushallin hal.91, Masyhur Hasan Salman
[7] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Adzan wal Iqomah hlm. 116 oleh Abdul Qodir al-Jazairi.
[8] Lihat Fathul Bari 4/109-110 oleh Ibnu Hajar, Islahul Masajid hlm. 118-119 oleh al-Qosimi, Tamamul Minnah hlm. 417-418 oleh al-Albani, Fatawa Ibnu Utsaimin hlm. 670, Taisir Alam  1/ 496 oleh Abdullah al-Bassam, Mukholafat Romadhan hlm. 22-23 oleh Abdul Aziz As-Sadhan.
[9] Fathul Bari 4/199
[10] Lihat Kullu Bid’atin Dholalah oleh Muhammad al-Muntashir hlm. 194.
[11] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Iqomah wal Adzan hlm. 115-116, muroja’ah Syaikh al-Albani dan Syaikh Masyhur bin Hasan.
[12] Faedah: Banyak orang Indonesia menerjemahkan idhul fithri dengan “Kembali Suci”. Terjemahan ini salah kaprah ditinjau dari segi bahasa dan syara’, sebagaimana dijelaskan oleh Ustadzuna Abdul Hakim Abdat dalam Majalah As Sunnah 05/Th. 1 hlm. 34-35 dan Ustadzuna Abu Nu’aim dalam Majalah Al Furqon 03/Th. 1 hlm. 12-13. Semoga Allah membalas kebaikan untuk keduanya.
[13] HR. Ahmad 3/103, Abu Dawud 1134 dan Nasai 3/179).
[14] Fathul Bari 1/159, Tafsir Ibnu Rojab 1/390.
[15] Lathoiful Ma’arif hlm. 228.
[16] Ucapan ini populer dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam madzhab Syafi’i seperti al-Ghozali dalam al-Mankhul hlm. 374 dan al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’ 2/395 dan lain sebagainya. (Lihat Ilmu Ushul Bida’ hlm. 121 oleh Syaikh Ali Hasan).
[17] Irsyadul Fuhul hlm. 240.
[18] Lihat Al-Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ hlm. 265-286 oleh Syaikh Ali Mahfudh, Al-Burhanul Mubin fi Tashoddi lil Bida’ wal Abathil 1/524,  Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ oleh as-Suyuthi hlm. 192, ta’liq Syaikh Masyhur Hasan, Mu’jamul Bida’ hlm. 98-99 oleh Raid Shobri.
[19] Lihat pula Al-Ibda’ fii Madhoril Ibtida’ hlm. 183 oleh Syaikh Ali Mahfudh, Al-Bid’ah hlm, 31 oleh Syaltut, Mu’jamul Bida’ hlm. 53 oleh Raid Shabri, Tashihu Du’a oleh Bakr Abu Zaid hlm. 270
[20] Ahkam al-Maqobir hal. 302
[21] Mukhtashor al-Khalil Ala Mawahib al-Jalil 2/237.
[22] Ahkam al-Maqobir hal. 302. Lihat pula risalah kami “Agar Ziarah Membawa Berkah” hlm. 17, cet Media Tarbiyah Bogor.
[23] Al-Bida’ al-Hauliyyah 2/431, Bida’ Wa Akhtho’ hal.396

Pengeras Suara Masjid

Dimana-mana terlebih di bulan Ramadhan, suara dari pengeras suara masjid/musholla bergema dimana-mana. Tidak hanya pada saat adzan, tapi juga sholat, tadarus qur’an, ceramah agama, zikir dan sebagainya juga disuarakan melalui speaker luar dengan volume yang sangat keras dan waktu yang lama serta tidak mengenal waktu (tengah malam, subuh). Apakah ini memang salah satu cara untuk mensyiarkan Islam ataukah malah masuk kategori mengganggu tetangga?

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An Nisaa’ 4:36)

Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku mengenai tetangga sampai aku mengira bahwa dia akan menjadikan tetangga sebagai ahli waris. (Shahih Muslim No.4757)

“Barangsiapa ingin disenangi Allah dan rasulNya hendaklah berbicara jujur, menunaikan amanah dan tidak mengganggu tetangganya.” (HR. Al-Baihaqi).

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam sendiri sebenarnya sudah melihat hal ini sejak lama sehingga merasa perlu mengeluarkan SK No. KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushola tanggal 17 Juli 1978. Namun demikian tampaknya masih banyak pengurus masjid/musholla yang belum menjalankannya.

Bagi yang berminat mendapatkan copy SK tersebut dalam file pdf (339 kb), silahkan download disini.
 
 

Pengeras suara masjid bisa selembut jazz lounge

 
Sekitar 800 ribu masjid yang berada di Indonesia, melakukan perbaikan selama Ramadan, termasuk kualitas sound system. Hal ini dilakukan karena seringnya kritikan terlontar dari beberapa pihak yang mengatakan suara panggilan itu terlalu berisik, terlebih ketika waktu sahur tiba.

Menyikapi hal itu, perusahaan lokal V8sound yang biasa memproduksi alat pengeras suara, melakukan eksperimen untuk memperhalus suara sound system. Hasilnya, Pengeras Suara Berkualitas Jazz Lounge berhasil dibuat.

Seperti dilansir dari website dw.de, pengeras suara ini dapat menghasilkan kualitas bunyi yang lebih halus, tidak mengakibatkan seseorang merasa terganggu.

"Pengeras suara ini berguna agar mesjid-mesjid di Indonesia bisa punya kualitas suara dengan standar sebuah jazz lounge" kata pendiri V8sound Harry Kisswoto, yang juga menjadi penasihat audio di istana kepresidenan.

Setelah diluncurkan perdana, respons masyarakat terhadap kehadiran sound system ini bagus. Beberapa masjid di kota besar juga telah mengganti peralatan pengeras suara yang lama dengan buatan V8sound. 

Hukum Shalat Sunnat Tarawih Berjama’ah


Perbedaan pendapat tentang shalat tarawih di kalangan ulama tidak hanya menyangkut jumlah raka’at-nya saja tapi juga tentang hukum mengerjakannya yaitu apakah harus dikerjakan sendirian ataukah boleh berjama’ah. Berkaitan dengan hal ini para ulama berselisih paham dan masing-masing memiliki dasar yang dijadikan hujjah yaitu sebagai berikut:




1. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, kebanyakan sahabat Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa sholat sunnat tarawih lebih utama dilakukan dengan berjama’ah di mesjid sebagaimana telah dikerjakan dan diperintahkan Umar Ibnu Khaththab ra beserta para sahabat yang lain.

Pendapat ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Aisyah ra:

“Bahwasanya Nabi saw mengerjakan sholat (tarawih) di dalam mesjid, maka bersholat pulalah dibelakangnya beberapa orang. Kemudian pada malam berikutnya bersholat lagi Nabi, maka banyaklah orang-orang yang mengikutinya. Di malam yang ketiga mereka berkumpul lagi, akan tetapi Nabi tidak datang ke mesjid. Di pagi hari Nabi bersabda: ‘Saya telah melihat apa yang telah kamu perbuat semalam. Tak ada yang menghalangi saya ke mesjid pada malam itu, selain aku takut sholat itu (sunnat tarawih itu) menjadi di fardukan atas kamu’.” (An-Nail dari Abu Hurairah; 3 : 61)

Diriwayatkan Al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi dari ‘Urwah:

“Telah dikabarkan kepadaku oleh Abdur Rahman Al Qarajji bahwasanya Umar pada suatu malam keluar mengelilingi mesjid di bulan Ramadhan, sedangkan isi mesjid berkelompok-kolompok. Ada yang sholat sendirian, ada yang diikuti oleh beberapa orang. Melihat hal itu Umar berkata: ‘Demi Allah, saya pikir lebih baik kita mengumpulkan orang-orang ini untuk seorang imam (di imami oleh seorang imam)’. Sesudah itu beliau menyuruh Ubay ibn Ka’ab supaya meng-imami mereka dalam sholat malam di bulan Ramadhan. Maka pada suatu malam beliau datang dan orang-orang sedang sholat di-imami Ubay ibn Ka’ab. Melihat itu Umar berkata: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah’.” (HR. Bukhari, Ibnu Chuzaimah dan Al-Baihaqi; Subulus Salam 2 : 10).

Atas dasar hadits-hadsits itulah kemudian Imam Syafi’i, jumhur asbab-nya, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikyiah menyatakan bahwa lebih afdol sholat tarawih dilakukan secara berjamaah di mesjid. Sebagian ulama menetapkan bahwa kita tidak boleh mengosongkan mesjid dari qiyam ramadhan, sehingga menurut mereka qiyam ramadhan merupakan satu fardhu kifayah.

2. Imam Malik, Abu Jusuf dan sebagian dari pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa lebih utama sholat sunnat tarawih dikerjakan di rumah masing-masing. Alasan mereka adalah nabi mengerjakannya terus-menerus sendiri tiap malam, kecuali hanya beberapa malam yang dikerjakan berjama’ah. Abu Bakar juga mengerjakan sendirian. Baru pada masa kekhalifahan Umar sholat tarawih dijama’ahkan yaitu pada tahun 14 Hijriah. Diantara yang mengutamakan dikerjakan sendiri adalah Alqamah dan An Nakha’iy. Selain itu mereka juga mendasarkan pada hadits berikut:

“Seutama-utamanya sholat ialah sholat seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali sholat fardhu”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar; An Nail 3 : 60)

3. Golongan ahlul bait (mazhab syi’ah) berpendapat bahwa karena tidak ada hadits yang bisa dijadikan pegangan yang kuat bahwa nabi saw mengerjakan tarawih secara berjama’ah maka mengerjakan sholat sunnat tarawih dengan berjama’ah hukumnya bid’ah.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas semoga kita bisa maklum atas perbedaan yang masih muncul hingga saat ini. Sampai kapanpun perbedaan ini tampaknya akan sulit untuk dipertemukan karena masing-masing pihak yakin atas nash yang dijadikan pegangan. Silahkan menggunakan pilihan berdasarkan keyakinan anda tanpa harus menyalahkan pihak lain sehingga menganggap diri sendirilah yang paling benar dan pihak lain yang berbeda dengan kita adalah pihak yang salah. Rasanya inilah tindakan yang bijak dari kita sebagai umat muslim.

Fir's Weblog


Jumlah Raka’at dalam Shalat Tarawih

Salah satu ibadah sunnah yang dianjurkan selama bulan ramadhan adalah melaksanakan sholat tarawih. Kalau kita perhatikan di berbagai masjid, jumlah rakaat sholat tarawih ini bermacam-macam. Ada yang 11, 13, 21 atau 23 rakaat (termasuk witir). Sebenarnya berapa rakaat tarawih yang diajarkan Rasulullah SAW?





Hadits Rakaat Tarawih 11 atau 20: Hadits Palsu

Tidak ada satu pun hadits yang shahih dan sharih (eksplisit) yang menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasululullah SAW. Kalau pun ada yang mengatakan 11 rakaat, 13 rakaat, 21 atau 23 rakaat, semua tidak didasarkan pada hadits yang tegas. Semua angka-angka itu hanyalah tafsir semata. Tidak ada hadits yang secara tegas menyebutkan angka rakaatnya secara pasti.

Al-Ustadz Ali Mustafa Ya’qub, MA, muhaddits besar Indonesia di bidang ilmu hadits, menerangkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang derajatnya mencapai shahih tentang jumlah rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kalau pun ada yang shahih derajatnya, namun dari segi istidlalnya tidak menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih. Di antara hadits palsu tentang jumlah rakaat tarawih Rasulullah SAW adalah hadits berikut ini:
Dari Ibn Abbas, ia berkata, “Nabi SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”. (Hadits Palsu)

Hadis ini diriwayatkan Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadits-haditsnya adalah munkar. Imam al-Nasa‘i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah adalah matruk. Imam Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu’ (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).

Demikian juga hadits yang menyebutkan bahwa jumlah rakaat tarawih Rasulullah SAW adalah 8 rakaat. Hadits itu juga palsu dan dusta.
“Rasulullah SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”. (Hadits Matruk)

Hadis ini diriwayatkan Ja‘far bin Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I‘tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Isa bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma‘in, adalah munkar al-Hadis (Hadis-hadisnya munkar).

Sedangkan menurut Imam al-Nasa‘i, ‘Isa bin Jariyah adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya pendusta.

Jadi bila disandarkan pada kedua hadits di atas, keduanya bukan dalil yang bisa dijadikan pegangan bahwa nabi SAW shalat tarawi 8 rakaat atau 20 rakaat dalam shalat tarawih.

Hadits Rakaat Shalat Malam atau Rakaat Shalat Tarawih?

Sedangkan hadits yang derajatnya sampai kepada keshahihan, hanyalah hadits tentang shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dimana Aisyah meriwayatkan secara shahih bahwa shalat malam yang dilakukan oleh beliau SAW hanya 11 rakaat.

Dari Ai’syah ra, “Sesungguhnya Nabi SAW tidak menambah di dalam bulan Ramadhan dan tidak pula mengurangkannya dari 11 rakaat. Beliau melakukan sholat 4 rakaat dan janganlah engkau tanya mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian beliau akan kembali sholat 4 rakaat dan jangan engkau tanyakan kembali mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian setelah itu beliau melakukan sholat 3 rakaat. Dan beliau berkata kepadanya (Ai’syah), “Dia melakukan sholat 4 rakaat, ” tidak bertentangan dengan yang melakukan salam setiap 2 rakaat. Dan Nabi SAW bersabda, “Sholat di malam hari 2 rakaat 2 rakaat.” Dan dia (Ai’syah), “Dia melakukan sholat 3 rakaat” atau ini mempunyai makna melakukan witir dengan 1 rakaat dan 2 rakaat. (HR Bukhari).

Tetapi di dalam hadits shahih ini, Aisyah ra sama sekali tidak secara tegas mengatakan bahwa 11 rakaat itu adalah jumlah rakaat shalat tarawih. Yang berkesimpulan demikian adalah para ulama yang membuat tafsiran subjektif dan tentunya mendukung pendapat yang mengatakan shalat tarawih itu 11 rakaat. Mereka beranggapan bahwa shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah shalat tarawih.

Karena itulah maka hadis diatas tidak bisa dijadikan dalil yang menunjukkan Nabi melakukan sholat tarawih sebanyak 11 raka’at. Imam al-Nawawi menyatakan bahwa hadis diatas merujuk pada sholat witir, demikian juga Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam fath al-Bari berpendapat sama.

Pendukung 20 Rakaat

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 rakaat, jumlah 11 rakaat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah rakaat shalat tarawih karena shalat tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah. Bagaimana mungkin Aisyah ra meriwayatkan hadits tentang shalat tarawih beliau SAW? Lagi pula, istilah shalat tarawih juga belum dikenal di masa beliau SAW. Pada masa Umar bin Khattab, karena orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar ingin agar umat Islam nampak seragam, lalu disuruhlah agar umat Islam berjamaah di masjid dengan shalat berjamah dengan imam Ubay bin Ka’b. Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 rakaat dengan dua salam.

Bagi para ulama itu, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah rakaat shalat tarawih, melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah rakaat shalat malam beliau, baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Maka dengan demikian, keadaan menjadi jelas mengapa di dalam tubuh umat Islam masih ada perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat tarawih yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan menarik, para ulama besar dunia sangat bersikap toleran dalam masalah ini.

Toleransi Jumlah Bilangan Rakaat

Dengan tidak adanya satu pun hadits shahih yang secara tegas menetapkan jumlah rakaat tarawih Rasulullah SAW, maka para ulama berbeda pendapat tentang jumlahnya. Ada yang 8 rakaat, 11 rakaat, 13 rakaat, 20 rakaat, 23 rakaat, bahkan 36 rakaat. Dan semua punya dalil sendiri-sendiri yang sulit untuk dipatahkan begitu saja.

Yang menarik, para ulama di masa lalu tidak pernah saling mencaci atau menjelekkan meski berbeda pendapat tentang jumah rakaat shalat tarawih.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan perbedaan riwayat mengenai jumlah rakaat yang dilakukan pada saat itu: ada yang mengatakan 13 rakaat, ada yang mengatakan 21 rakaat, ada yang mengatakan 23 rakaat.

Sheikh al-Islam Ibn Taymiyah berpendapat, “Jika seseorang melakukan sholat tarawih sebagaimana mazhab Abu Hanifah, As-Syafi’i dan Ahmad yaitu 20 rakaat atau sebagaimana Mazhab Malik yaitu 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu yang terbaik. Ini sebagaimana Imam Ahmad berkata, Karena tidak ada apa yang dinyatakan dengan jumlah, maka lebih atau kurangnya jumlah rakaat tergantung pada berapa panjang atau pendek qiamnya.”(Kitab Al-Ikhtiyaaraat halaman 64).

Demikian juga dengan Mufti Saudi Arabia di masa lalu, Al-’allaamah Sheikh Abdulah bin Baaz ketika ditanya tentang jumlah rakaat tarawih, termasuk yang mendukung shalat tarawih 11 atau 13 rakaat, namun beliau tidak menyalahkan mereka yang meyakini bahwa yang dalilnya kuat adalah yang 20 rakaat. Beliau rahimahullah berkata, “Sholat Tarawih 11 rakaat atau 13 rakaat, melakukan salam pada setiap 2 rakaat dan 1 rakaat witir adalah afdal, meniru cara Nabi SAW. Dan, siapa pula yang sholatnya 20 rakaat atau lebih maka juga tidak salah.”

Dan di kedua masjid besar dunia, Masjid Al-Haram Makkah dan masjid An-Nabawi Madinah, sejak dahulu para ulama dan umat Islam disana shalat tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat witir. Dan itu berlangsung sampai hari ini, meski mufti negara punya pendapat yang berbeda. Namun mereka tetap harmonis tanpa ada saling caci.

Inti dari semuanya, sholat qiyam ramadhan atau populernya tarawih itu tidak dibatasi jumlah raka’atnya, boleh 8, boleh 11, 20 sampai tak hingga. Semakin banyak sholat sunnah dimalam-malam bulan Ramadhan tentu lebih baik dalam hal ibadah, asalkan tetap mengacu pada kemampuan diri, jika kita sanggupnya 8 ya 8 saja, jika sanggup 100 raka’at ya lakukan 100 raka’at. Jangan pernah memaksa diri karena tubuh juga ada hak untuk beristirahat. Secara logika, sholat ini adalah sholat sunnah, namanya sholat sunnah yaitu sebagai sholat tambahan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, sebagai sholat yang tidak diwajibkan, maka logikanya lagi pasti tidak ada pembebanan dalam melaksanakannya, bisa dilakukan berdasarkan keikhlasan dan kesanggupan masing-masing orang, sebab manakala sesuatu itu menjadi beban, maka saat itu juga dia berlawanan dengan prinsip Islam sendiri yang mengedepankan “mudahkan urusan orang, jangan dipersulit” serta doktrin “Tuhan tidak akan membebani hal diluar kesanggupan umatnya” dan “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Bahkan untuk sholat wajib saja ada banyak sekali kemudahan yang bisa kita peroleh, apalagi sholat sunnah.
—–
Referensi : Eramuslim, Milis Iqra

Menggugat Sidang Isbath 2012

Sebagaimana biasa setiap tahun selalu diadakan sidang isbath untuk penentuan awal Ramadhan, awal Syawal dan 10 Dzulhijjah. Sejumlah tokoh dan ormas Islam hadir dalam sidang ini seperti perwakilan dari BMKG,  perwakilan dari Persis, HTI, PBNU dan lembaga Islam seperti MUI, Dewan Masjid Indonesia, Badan Hisab Rukyat, dan ICMI. Keputusan dari sidang ini akan dijadikan pegangan oleh umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha.

Pada sidang isbath kali ini (19 Juli 2012) cukup menarik karena untuk pertama kalinya tidak dihadiri oleh ormas besar Muhammadiyah. Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab (perhitungan) dalam menentukan awal bulan merasa tidak perlu lagi menghadiri rapat isbath karena alasan keyakinan yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah. “Jadi untuk tahun-tahun yang akan datang Muhammadiyah juga tidak boleh diintervensi dan menyatakan tidak ikut sidang itu (isbath),” kata Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (19/7/2012).

Hal menarik lainnya dari sidang isbath kali ini adalah diabaikannya penglihatan hilal dengan metode rukyat oleh saksi-saksi dari Front Pembela Islam (FPI) dan An-Najat Al-Islamiyah. Padahal mereka menjadi saksi dibawah sumpah Kementerian Agama. Pendapat mengenai melihat hilal ini diragukan dan dinilai lemah oleh Ketua Lanjah Falakiyah PBNU KH Ghozali Masruri dalam sidang isbath tersebut dengan alasan tidak mungkin melihat hilal di Cakung pukul 17.53 WIB karena di Jakarta pukul 17.53 WIB itu belum masuk waktu magrib. Ghozali juga menyebut kondisi Jakarta pada sore itu dalam keadaan mendung sehingga mustahil hilal bisa terlihat. Namun dalam wawancara dengan TVOne (20 Juli 2012) salah seorang saksi yang melihat hilal yaitu Nabil Jamhari membantah pernyataan Ghozali Masruri tersebut. Nabil menyatakan bahwa pada saat itu kondisi langit cerah dan sangat memungkinkan melihat hilal. Para saksi ini secara rutin melakukan latihan melihat hilal setiap bulannya sehingga kompetensi mereka tidak perlu diragukan. Mengenai jam melihat hilal yang dikatakan belum masuk waktu maghrib juga dibantah Nabil. Ia mengatakan bahwa jam maghrib yang digunakan Ghozali adalah berdasarkan metode hisab yang waktunya dalam penanggalan yang dicetak memang sengaja dilambatkan 2 menit. Jada pada hari itu waktu magrib di Jakarta sebenarnya adalah jam 17.51 WIB. Nabil sendiri melihat hilal pada jam 17.54 WIB.

Saat zaman Rasulullah SAW ketika ada seseorang yang melaporkan sudah melihat hilal maka proses berikutnya tidak seperti yang kita lihat tempo hari pada sidang isbath yang tidak berusaha menggali informasi lebih lanjut tapi malah prejudice dan cenderung menyalahkan. Rasulullah SAW memberikan contoh dengan langsung mengambil sumpah atas dasar kesaksian tersebut dan memerintahkan kaum Muslimin untuk melaksanakan puasa Ramadhan atau menetapkan 1 Syawal Idul Fitri. Dalam tuntunan Rasulullah SAW siapapun yang melihat hilal dan setelah disumpah kesaksiannya maka yang lain tinggal mengikuti. Jadi bukan pada banyaknya saksi yang melihat dan bukan pula pada ormas besar atau kecil yang melihatnya lalu keputusan diambil.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah untuk apalagi ada sidang isbath jika kesaksian dibawah sumpah tidak diakui? Tuntunan mana sebenarnya yang digunakan oleh para peserta sidang isbath tersebut? Tidak aneh jika Din Syamsudin menilai sidang isbat yang digelar Pemerintah hanya basa-basi karena pemerintah tidak mengakomodasi aspirasi-aspirasi dari ormas keagamaan yang ada. Pemerintah dalam sidang isbath hanya menentukan keputusan secara sepihak. Dari kejadian ini sudah selayaknya Pemerintah dan unsur-unsur ormas Islam agar segera mencarikan jalan keluar terbaik untuk mencari titik temu antara metode hisab dan rukyat serta juga agar penolakan saksi seperti yang terjadi pada sidang isbath 19 Juli 2012 lalu tidak terulang kembali di kemudian hari.

sumber: Fir's Weblog

Al-Quran Turun Pada Malam Lailatul Qadr ? atau Malam ‘Nuzulul Quran’ 17 Ramadhan ?

Ketika memasuki malam yang ke 17 di bulan Ramadhan sebagian kaum muslimin dan masjid-masjid mulai diadakan peringatan turunnya al-Quran pertama kali yang disebut malam peringatan Nuzulul Quran. Hal ini juga ‘terkesan’ dikuatkan dengan catatan kaki dalam “Al-Quran dan Terjemahnya” surat Adh-Dhukhan ayat 3.
 
إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ
Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.

[1369] malam yang diberkahi ialah malam Al Quran pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.

Keyakinan ini bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’alaa dalam surat al-Qadr ayat pertama:

إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[1593].”

[1593] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, Karena pada malam itu permulaan Turunnya Al Quran.

Ayat diatas dengan jelas bahwa al-Quran diturunkan pada malam kemulian (Lailatul Qadar) dan juga Terlihat jelas bahwa catatan kaki untuk ayat di atas dalam “al-Quran dan Terjemahnya” juga menjelaskan bahwa malam permulaan turunnya al-Quran adalah pada malam tersebut. Sekarang yang menjadi pertanyaan, kapan terjadinya malam Lailatul Qadar, malam dimana al-Quran itu turun ? apakah benar pada 17 Ramadhan seperti yang selama ini oleh sebagian kaum muslimin Indonesia mempertingatinya ?

Nabi shallahu’alaihi wa sallam pernah mengabarkan kepada kita tentang kapan akan datangnya malam Lailatul Qadar. Beliau pernah bersabda:
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)

Beliau shallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila kalian lemah atau kurang fit, maka jangan sampai engkau lengah pada tujuh hari terakhir” (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Dengan demikian telah jelas bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan yaitu pada malam-malam ganjilnya 21, 23, 25, 27 atau 29. Maka gugurlah keyakinan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa turunya al-Quran pertama kali pada tanggal 17 Ramadhan.

Jika ada yang berargumen, “Tanggal 17 Ramadhan yang dimaksud adalah turunnya al-Quran ayat pertama ke dunia kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5, sedangkan Lailatul qadar pada surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran seluruhnya dari lauhul mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia !!?”.

Maka jawabnya: Benar, bahwa turunnya al-Quran yaitu pada Lailatul qadar seperti yang tertuang dalam surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia, dan setelah itu al-Quran diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. Seperti perkataan Ibnu Abbas radliyallahu’anhu dan yang lainnya ketika menafsirkan QS. Ad-Dukhon ayat 3:
“Allah menurunkan al-Quran sekaligus daru Lauh Mahfudz ke baitul izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.(Tafsir Ibnu Katsir 8/441)

Tetapi apakah ini menjadikan bahwa benar nya pendapat bahwa turunnya ayat pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah 17 Ramadhan ?? mari kita simak pembahasan dibawah ini.

Pendapat Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury di Kitab Sirohnya (tentang) Kapan Awal Permulaan Wahyu.

Dalam kitab siroh beliau, beliau menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat diantara pakar sejarah tentang kapan awal mula turunnya wahyu, yaitu turunnya surat Al-Alaq: 1-5. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21. Beliau mengatakan:
“Kami menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21, sekalipun kami tidak melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar biografi atau setidak-tidaknya mayoritas di antara mereka sepakat bahwa beliau diangkat menjadi Rasul pada hari senin, hal ini diperkuat oleh riwayat para imam hadits, dari Abu Qotadah radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari senin. Maka beliau menjawab,
“Pada hari inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu (yang pertama) kepadaku.”
Dalam lafdz lain disebutkan, “Itulah hari aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku diutus sebagai rasul atau turun wahyu kepadaku”
(Lihat shahih Muslim 1/368; Ahmad 5/299, Al-Baihaqi 4/286-300, Al-Hakim 2/602).

Hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu adalah jatuh pada tanggal 7, 14, 21, dan 28. Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa Lailatul Qodar tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Jadi jika kami membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qodar”, dengan riwayat Abu Qotadah, bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada hari senin, serta berdasarkan penelitian ilmiah tentang jatuhnya hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kami bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada malam tanggal 21 dari Bulan Ramadhan. (Lihat Kitab Siroh Nabawiyyah oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury Bab Di Bawah Naungan Nubuwah, hal. 58 pustaka al-Kautsar)

Maka jelaslah bahwa pendapat kapan al-Quran turun, baik al-Quran turun dari Baitul Izzah ke langit dunia atau dari langit dunia ke Rasulullah keduanya saling melengkapi, dan bukan terjadi di 17 Ramadhan. Wallahu’alam.

Yang bisa dipetik dari pembahasan di atas:

  1. Al-Quran diturunkan pada malam lailatul qadar bukan pada malam yang dikenal dengan malam ‘Nuzulul Quran’ yang bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan.
  2. Lebih khusus lagi bahwa turunnya wahyu kepada Rasulullah shalallallahu’alaihi wa sallam yang pertama adalah 21 Ramadhan, seperti pendapat syaikh Shafiyyurahman.
  3. Peringatan Nuzulul Quran 17 Ramadhan dengan dzikir tertentu dan bentuk pengajian khusus adalah bentuk peringatan yang tidak pernah ada landasannya dari al-Quran dan Hadist Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, sehingga termasuk dalam perkara bid’ah
  4. Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir yang ganjil dibulan Ramadhan.
  5. Peringatan lailatul qadar pada malam 27 Ramadhan (atau malam ganjil lainnya) dengan suatu pengajian khusus juga merupakan bid’ah karena Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memperingatinya melainkan beliau shallahu’alahi wa sallam menghidupkan malam tersebut dengan qiyamul lail dan memperbanyak doa.
  6. Himbauan kepada para penanggung jawab “al-Quran dan Terjemahnya” agar meluruskan catatan kaki atau takwil-takwil dari ayat suci al-Quran yang hanya merupakan anggapan-anggapan yang tidak berdalil atau bahkan tafsiran/takwil yang bathil.

Referensi
1. Ustadz Aunur Rofiq. Nuzulul Quran pada bulan Romadhon. Majalah al-Furqon Edisi 84, th ke-8 1429/ 2008
2. Abu Musa al-Atsari. Lailatul Qadar Malam Kemulian. Majalah adz-Dzakiroh Edisi 43, Edisi Khusus Ramadhan-Syawal, Vol 8, No.1 1429 H
3. Al-Quran dan Terjemahnya
4. Siroh Nabawiyah, oleh Syaikh Shafiyyurahman al-Mubarokfury

Artikel: Maramissetiawan.Wordpress.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com dan moslemshares.blogspot.com

Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran

Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wa sallam. Tentu kita wajib menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam. Dengan kata lain, Al Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam dan sabda-sabda Shallallahu’alaihi Wa sallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.

Yang menjadi masalah sekarang, mengapa ketika semua kelompok dan jama’ah mengaku telah berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda keyakinan, berpecah-belah dan masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Setidaknya ini menunjukkan Al Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami berbeda-beda oleh masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam? Jawabnya, merekalah para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.

Pengertian Sahabat Nabi

Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah “Orang yang melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam dalam keadaan Islam, yang meriwayatkan sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam tidak dalam tempo yang lama, atau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam belum pernah melihat ia sama sekali” [1]
Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang jumlah orang yang tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan, “Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Pada masa sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi”[2]

Keutamaan Sahabat

Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi, “Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]

Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an, di antaranya firman Allah yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda, “Kebaikan akan tetap ada selama di antara kalian ada orang yang pernah melihatku dan para sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]

Beliau Shallallahu’alaihi Wa sallam juga bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka”[5]

Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam terhadap para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda, “Jangan engkau cela sahabatku, andai ada di antara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya pula.”[6]

Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran

Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu paham bahwa tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain para sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang paling benar terhadap agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga akhirnya sampai kepada kita, walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat Islam dengan Nabinya.
Oleh karena ini sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang sama sekali tidak diyakini dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia mendapatkan keyakinan itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya? Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan tidak ada lagi Nabi sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita perlu menyadari bahwa mengambil metode beragama Islam yang selain metode beragama para sahabat, akan menjerumuskan kita kepada jalan yang menyimpang dan semakin jauh dari ridha Allah Ta’ala. Sedangkan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi. Setiap hari kita membaca ayat: “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)

Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya[7].

Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata, “Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)”[8]

Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut kami adalah berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka… dst.”
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadikan solusi dari perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan
Para sahabat bertanya, “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku[9]

Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya, “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah. Lalu mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia dari kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnnahku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah perkara yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)

Jika Sahabat Berselisih Pendapat

Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan dari para sahabat, lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa pendapat di antara para sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi’i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah Al Qur’an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat? Beliau menjawab, bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu’an atau Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang paling shahih”[10]
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya. [Yulian Purnama]

_____________
[1] Al Ba’its Al Hatsits Fikhtishari ‘Ulumil Hadits, Ibnu Katsir (1/24)
[2] Al Ba’its Al Hatsits (1/25)
[3] Al Ba’its Al Hatsits (1/24)
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (7/7)
[5] HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533
[6] HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540
[7] Tafsir At Thabari (1/179)
[8] Tafsir Al Qurthubi (1/60)
[9] HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”
[10] Ar Risalah (1/597)