Senin, 06 Agustus 2012

Hukum Shalat Sunnat Tarawih Berjama’ah


Perbedaan pendapat tentang shalat tarawih di kalangan ulama tidak hanya menyangkut jumlah raka’at-nya saja tapi juga tentang hukum mengerjakannya yaitu apakah harus dikerjakan sendirian ataukah boleh berjama’ah. Berkaitan dengan hal ini para ulama berselisih paham dan masing-masing memiliki dasar yang dijadikan hujjah yaitu sebagai berikut:




1. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, kebanyakan sahabat Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa sholat sunnat tarawih lebih utama dilakukan dengan berjama’ah di mesjid sebagaimana telah dikerjakan dan diperintahkan Umar Ibnu Khaththab ra beserta para sahabat yang lain.

Pendapat ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Aisyah ra:

“Bahwasanya Nabi saw mengerjakan sholat (tarawih) di dalam mesjid, maka bersholat pulalah dibelakangnya beberapa orang. Kemudian pada malam berikutnya bersholat lagi Nabi, maka banyaklah orang-orang yang mengikutinya. Di malam yang ketiga mereka berkumpul lagi, akan tetapi Nabi tidak datang ke mesjid. Di pagi hari Nabi bersabda: ‘Saya telah melihat apa yang telah kamu perbuat semalam. Tak ada yang menghalangi saya ke mesjid pada malam itu, selain aku takut sholat itu (sunnat tarawih itu) menjadi di fardukan atas kamu’.” (An-Nail dari Abu Hurairah; 3 : 61)

Diriwayatkan Al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi dari ‘Urwah:

“Telah dikabarkan kepadaku oleh Abdur Rahman Al Qarajji bahwasanya Umar pada suatu malam keluar mengelilingi mesjid di bulan Ramadhan, sedangkan isi mesjid berkelompok-kolompok. Ada yang sholat sendirian, ada yang diikuti oleh beberapa orang. Melihat hal itu Umar berkata: ‘Demi Allah, saya pikir lebih baik kita mengumpulkan orang-orang ini untuk seorang imam (di imami oleh seorang imam)’. Sesudah itu beliau menyuruh Ubay ibn Ka’ab supaya meng-imami mereka dalam sholat malam di bulan Ramadhan. Maka pada suatu malam beliau datang dan orang-orang sedang sholat di-imami Ubay ibn Ka’ab. Melihat itu Umar berkata: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah’.” (HR. Bukhari, Ibnu Chuzaimah dan Al-Baihaqi; Subulus Salam 2 : 10).

Atas dasar hadits-hadsits itulah kemudian Imam Syafi’i, jumhur asbab-nya, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikyiah menyatakan bahwa lebih afdol sholat tarawih dilakukan secara berjamaah di mesjid. Sebagian ulama menetapkan bahwa kita tidak boleh mengosongkan mesjid dari qiyam ramadhan, sehingga menurut mereka qiyam ramadhan merupakan satu fardhu kifayah.

2. Imam Malik, Abu Jusuf dan sebagian dari pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa lebih utama sholat sunnat tarawih dikerjakan di rumah masing-masing. Alasan mereka adalah nabi mengerjakannya terus-menerus sendiri tiap malam, kecuali hanya beberapa malam yang dikerjakan berjama’ah. Abu Bakar juga mengerjakan sendirian. Baru pada masa kekhalifahan Umar sholat tarawih dijama’ahkan yaitu pada tahun 14 Hijriah. Diantara yang mengutamakan dikerjakan sendiri adalah Alqamah dan An Nakha’iy. Selain itu mereka juga mendasarkan pada hadits berikut:

“Seutama-utamanya sholat ialah sholat seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali sholat fardhu”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar; An Nail 3 : 60)

3. Golongan ahlul bait (mazhab syi’ah) berpendapat bahwa karena tidak ada hadits yang bisa dijadikan pegangan yang kuat bahwa nabi saw mengerjakan tarawih secara berjama’ah maka mengerjakan sholat sunnat tarawih dengan berjama’ah hukumnya bid’ah.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas semoga kita bisa maklum atas perbedaan yang masih muncul hingga saat ini. Sampai kapanpun perbedaan ini tampaknya akan sulit untuk dipertemukan karena masing-masing pihak yakin atas nash yang dijadikan pegangan. Silahkan menggunakan pilihan berdasarkan keyakinan anda tanpa harus menyalahkan pihak lain sehingga menganggap diri sendirilah yang paling benar dan pihak lain yang berbeda dengan kita adalah pihak yang salah. Rasanya inilah tindakan yang bijak dari kita sebagai umat muslim.

Fir's Weblog


0 komentar:

Posting Komentar