Perbedaan pendapat tentang shalat tarawih di kalangan ulama tidak
hanya menyangkut jumlah raka’at-nya saja tapi juga tentang hukum
mengerjakannya yaitu apakah harus dikerjakan sendirian ataukah boleh
berjama’ah. Berkaitan dengan hal ini para ulama berselisih paham dan
masing-masing memiliki dasar yang dijadikan hujjah yaitu sebagai
berikut:
1. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, kebanyakan sahabat Asy Syafi’i,
Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa sholat sunnat
tarawih lebih utama dilakukan dengan berjama’ah di mesjid sebagaimana
telah dikerjakan dan diperintahkan Umar Ibnu Khaththab ra beserta para
sahabat yang lain.
Pendapat ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Aisyah ra:
“Bahwasanya Nabi saw mengerjakan sholat (tarawih) di dalam mesjid,
maka bersholat pulalah dibelakangnya beberapa orang. Kemudian pada malam
berikutnya bersholat lagi Nabi, maka banyaklah orang-orang yang
mengikutinya. Di malam yang ketiga mereka berkumpul lagi, akan tetapi
Nabi tidak datang ke mesjid. Di pagi hari Nabi bersabda: ‘Saya telah
melihat apa yang telah kamu perbuat semalam. Tak ada yang menghalangi
saya ke mesjid pada malam itu, selain aku takut sholat itu (sunnat
tarawih itu) menjadi di fardukan atas kamu’.” (An-Nail dari Abu
Hurairah; 3 : 61)
Diriwayatkan Al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi dari ‘Urwah:
“Telah dikabarkan kepadaku oleh Abdur Rahman Al Qarajji bahwasanya
Umar pada suatu malam keluar mengelilingi mesjid di bulan Ramadhan,
sedangkan isi mesjid berkelompok-kolompok. Ada yang sholat sendirian,
ada yang diikuti oleh beberapa orang. Melihat hal itu Umar berkata:
‘Demi Allah, saya pikir lebih baik kita mengumpulkan orang-orang ini
untuk seorang imam (di imami oleh seorang imam)’. Sesudah itu beliau
menyuruh Ubay ibn Ka’ab supaya meng-imami mereka dalam sholat malam di
bulan Ramadhan. Maka pada suatu malam beliau datang dan orang-orang
sedang sholat di-imami Ubay ibn Ka’ab. Melihat itu Umar berkata: ‘Inilah
sebaik-baik bid’ah’.” (HR. Bukhari, Ibnu Chuzaimah dan Al-Baihaqi;
Subulus Salam 2 : 10).
Atas dasar hadits-hadsits itulah kemudian Imam Syafi’i, jumhur
asbab-nya, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikyiah
menyatakan bahwa lebih afdol sholat tarawih dilakukan secara berjamaah
di mesjid. Sebagian ulama menetapkan bahwa kita tidak boleh mengosongkan
mesjid dari qiyam ramadhan, sehingga menurut mereka qiyam ramadhan
merupakan satu fardhu kifayah.
2. Imam Malik, Abu Jusuf dan sebagian dari pengikut Imam Syafi’i
berpendapat bahwa lebih utama sholat sunnat tarawih dikerjakan di rumah
masing-masing. Alasan mereka adalah nabi mengerjakannya terus-menerus
sendiri tiap malam, kecuali hanya beberapa malam yang dikerjakan
berjama’ah. Abu Bakar juga mengerjakan sendirian. Baru pada masa
kekhalifahan Umar sholat tarawih dijama’ahkan yaitu pada tahun 14
Hijriah. Diantara yang mengutamakan dikerjakan sendiri adalah Alqamah
dan An Nakha’iy. Selain itu mereka juga mendasarkan pada hadits berikut:
“Seutama-utamanya sholat ialah sholat seseorang yang dikerjakan di
rumahnya kecuali sholat fardhu”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar;
An Nail 3 : 60)
3. Golongan ahlul bait (mazhab syi’ah) berpendapat bahwa karena tidak
ada hadits yang bisa dijadikan pegangan yang kuat bahwa nabi saw
mengerjakan tarawih secara berjama’ah maka mengerjakan sholat sunnat
tarawih dengan berjama’ah hukumnya bid’ah.
Dengan penjelasan-penjelasan di atas semoga kita bisa maklum atas
perbedaan yang masih muncul hingga saat ini. Sampai kapanpun perbedaan
ini tampaknya akan sulit untuk dipertemukan karena masing-masing pihak
yakin atas nash yang dijadikan pegangan. Silahkan menggunakan pilihan
berdasarkan keyakinan anda tanpa harus menyalahkan pihak lain sehingga
menganggap diri sendirilah yang paling benar dan pihak lain yang berbeda
dengan kita adalah pihak yang salah. Rasanya inilah tindakan yang bijak
dari kita sebagai umat muslim.
0 komentar:
Posting Komentar